Apakah Media Massa Sudah Mati?
Ruang redaksi bukan lagi hanya milik awak media. Ruang redaksi kini dapat menjelma menjadi linimasa Twitter, komunitas warga, hingga grup WA perkumpulan rukun tetangga yang diisi oleh orang tanpa latar belakang jurnalistik. Singkat kata, ruang redaksi kehilangan eksklusivitasnya.
Keredaksian profesional sudah tiba pada masa baru, di mana kelangkaan informasi bukan lagi sesuatu yang dapat dimonopoli seenak hati. Kehadiran internet memberikan khalayak kendali penuh atas dirinya dan atas apapun yang ingin mereka baca, dengar, dan tulis.
Internet dan media sosial secara terang-terangan berhasil mendorong publik meninggalkan media massa, seperti surat kabar, radio, dan televisi. Publik pindah ke pelukan sumber informasi yang gratis, tapi punya pilihan informasi beragam. Dengan internet, publik juga lebih bebas memilih informasi yang ingin dikonsumsi, satu keunggulan yang tidak dimiliki media massa.
Eksodus publik besar-besaran ke internet membuat media massa kesulitan menghidupi dirinya. Kue iklan yang dulu menjadi penyambung nyawa tiap hari semakin tipis karena korporat atau pemilik produk juga ikut terpikat dengan kecanggihan segmentasi khalayak yang dimiliki internet. Akibatnya banyak media massa yang gulung tikar karena tidak mampu mempertahankan likuiditasnya.
Beberapa pihak kemudian membuat asumsi soal kematian media massa. Asumsi itu digelontorkan oleh ahli kajian media hingga cenayang teknologi macam Bill Gates. Mereka memprediksi bahwa media massa tidak bisa lagi eksis di era desentralisasi informasi.
Pertanyaannya: apakah asumsi mereka benar?
Jawabannya adalah setengah benar. Kematian sangat dekat dengan media massa yang tidak gesit melihat perubahan. Keengganan untuk merespon dinamika teknologi informasi memaksa mereka tertinggal jauh dari kompetitornya yang sudah berlari kencang. Media massa semacam ini masih berkutat pada ideologi bahwa media punya tugas untuk menentukan agenda publik. Tidak sepenuhnya salah memang, namun tugas itu sulit semakin dijalankan lantaran harus berebut ruang dengan pengguna media sosial yang kini berdiri sejajar dengan institusi media.
Jika bukan keengganan, keinginan untuk berubah bisa juga karena terbentur cekaknya sumber daya. Tak bisa ditampik bahwa mengalihkan operasional perusahaan media menjadi sepenuhnya ke digital butuh dana yang tidak sedikit. Pembaruan tidak hanya dilakukan kepada infrastruktur media saja, melainkan sumber daya media yang perlu memperoleh skill set baru agar mampu bekerja optimal di era media digital.
Rasa-rasanya bagi mereka bertahan terdengar lebih sulit daripada tiarap. Alih-alih terus produksi tanpa mampu mambayar gaji, lebih baik memberhentikan operasi. Mereka harus mengakui kekalahan kontra internet dan media sosial.
Di lain pihak, contoh media massa yang mampu bertahan juga bermunculan. Kunci keberhasilan mereka adalah inovasi dan keterbukaan terhadap dinamika teknologi. Ketika rezim internet dan media sosial menguat, mereka tidak lantas membuat tandingannya. Mereka sadar bahwa untuk melawan kerajaan Google dan raksasa media sosial adalah upaya yang memakan waktu panjang.
Maka tidak heran jika media massa saat ini mulai banyak mempekerjakan orang non-redaksi, seperti tim digital marketing, desain, UI/UX Writer, hingga programmer. Bahkan, proporsinya bisa melampaui jumlah orang yang bekerja di sektor redaksi. Hal ini dilakukan agar media massa mampu menyesuaikan diri dengan selera publik saat ini yang cenderung suka informasi cepat dan informasi visual.
Upaya lain yang bisa dilakukan untuk bisa bertahan adalah melibatkan publik atau masyarakat ke dalam proses produksi informasi, baik secara langsung maupun tidak langsung. Artinya, proses produksi tidak lagi dilakukan sepenuhnya tertutup di kalangan awak redaksi. Arus informasi tidak lagi diinisiasi oleh orang dengan kredensial jurnalistik. Semua orang, tanpa terkecuali, mampu dan dipersilakan untuk membagikan informasi.
Media massa harus sadar bahwa di internet banyak kejadian, peristiwa, atau fakta yang tidak bisa ditelusuri sendirian. Maka informasi yang disampikan publik melalui media sosial juga patut untuk dipertimbangkan. Selain memperbanyak produk informasi, media massa juga membantu untuk mengamplifikasi isu yang diangkat agar cepat memperoleh atensi dari pemangku kepentingan terkait.
Bagaimana dengan tugas media massa selanjutnya?
Tugas media massa adalah mengisi lubang kosong yang ada di platform media massa. Lubang yang dimaksud adalah kerentanan informasi terhadap upaya disinformasi dan pengelabuhan fakta. Industri media massa perlu menyadari, kendati posisinya tidak lagi eksklusif, terdapat keistimewaan yang tidak dimiliki oleh lembaga lain maupun pengguna media sosial. Media massa adalah satu-satunya lembaga yang ditunjuk regulasi negara untuk menjalankan fungsi jurnalistik.
Dengan fungsi tersebut, media massa dimungkinkan melakukan tugas produksi informasi yang lebih komperhensif. Misalnya, ketika ada sebuah twit viral di Twitter, media massa bisa turun tangan melakukan verifikasi dan merilis versi yang lebih lengkap. Apalagi, media massa punya akses yang lebih lengkap terhadap narasumber resmi. Ketika perhatian publik sedang dipusatkan, media massa hadir sebagai sumber fakta. Dengan begitu, media massa tetap mampu bekerja dengan iklim informasi digital tanpa harus kehilangan jati dirinya.